Fenomena viral yang kerap diikuti dengan donasi di Indonesia semakin menjadi sorotan. Beberapa kejadian belakangan ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini mencerminkan solidaritas sejati atau sekadar tren yang berlalu begitu saja?
Pertama, ada kisah Agus, seorang korban penyiraman air keras yang tiba-tiba menjadi viral setelah diundang oleh seorang YouTuber terkenal. Video ini mengundang simpati luas dan dana donasi mengalir deras, mencapai lebih dari Rp1,5 miliar. Namun, tak lama setelah itu, beredar tuduhan bahwa Agus menyalahgunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi, memicu kekecewaan yang meluas di kalangan donatur. Kejadian ini kemudian kembali menjadi viral, memicu perdebatan tentang pengelolaan donasi yang transparan dan akuntabel.
Kedua, ada kisah viral Gus Miftah yang menyebut seorang penjual es teh sebagai "bodoh" dalam sebuah video dakwahnya. Ucapan tersebut memicu kontroversi, dan tidak lama kemudian, para warganet malah mengalirkan donasi kepada penjual es teh tersebut sebagai bentuk solidaritas. Meskipun niat Gus Miftah untuk bercanda, banyak yang merasa bahwa kata-katanya tidak pantas dan mengundang kecaman.
Media sosial telah menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan cerita dan membangun empati. Dalam hitungan jam, unggahan yang menyentuh hati bisa menginspirasi jutaan orang untuk beraksi. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya budaya gotong royong digital di Indonesia, di mana masyarakat dengan sukarela memberikan donasi kepada mereka yang membutuhkan.
Namun, di sisi lain, kekuatan media sosial juga membawa tantangan besar dalam hal validitas dan transparansi. Banyak kasus donasi yang ternyata disalahgunakan, merusak niat baik yang mendasari gerakan tersebut. Ini menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap gerakan donasi dan menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang benar-benar mendapat manfaat dari dana yang terkumpul.
Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah semua donasi ini didasari oleh solidaritas yang tulus, ataukah hanya mengikuti tren viral yang sedang populer. Dalam beberapa kasus, banyak orang yang merasa tertekan untuk ikut berpartisipasi dalam donasi karena takut dianggap tidak peduli jika tidak melakukannya. Hal ini membuka celah bagi pihak-pihak yang mungkin mengeksploitasi viralitas demi keuntungan pribadi, mencederai esensi solidaritas itu sendiri.
Fenomena viral dan donasi yang terjadi berulang kali ini juga memunculkan risiko kelelahan empati (empathy fatigue). Ketika cerita-cerita sedih dan dramatis terus menerus disuguhkan kepada publik, masyarakat bisa menjadi kurang peka dan merasa bahwa ini adalah sesuatu yang biasa. Kejadian-kejadian yang sebelumnya menyentuh hati, bisa jadi tidak lagi menimbulkan dampak yang sama.
Namun, di sisi lain, gerakan ini juga menunjukkan betapa kuatnya kekuatan masyarakat untuk bergerak bersama tanpa harus menunggu pemerintah atau lembaga resmi. Ini membuka peluang untuk mengelola donasi dengan lebih profesional dan transparan, melalui platform yang sudah terpercaya.
Fenomena “dikit-dikit viral, dikit-dikit donasi” mencerminkan dua sisi: kekuatan solidaritas masyarakat Indonesia dan tantangan besar dalam menjaga kepercayaan publik. Kita perlu lebih bijak dalam menyikapi viralitas, dengan tidak hanya mengandalkan perasaan tetapi juga dengan pertimbangan yang lebih rasional. Jika fenomena ini dikelola dengan baik, ia dapat menjadi alat perubahan sosial yang sangat besar. Namun, jika tidak hati-hati, ia hanya akan menjadi tren sesaat yang kehilangan makna.
Jadi, apakah ini solidaritas sejati atau sekadar tren? Jawabannya ada pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, menyikapi dan mengelolanya.
Iklan
Mau Pasang Iklan? Email: hi@dijogja.co