Indonesia mempunyai berbagai tradisi yang dilakukan menjelang Hari Raya Idul Adha. Pada tahun ini, Hari Raya Idul Adha 2023 jatuh pada tanggal 29 Juni 2023, bersamaan dengan tahun 1444 Hijriah. Salah satu tradisi yang terkenal adalah Grebeg Besar di Yogyakarta. Grebeg Besar adalah tradisi turun temurun yang biasanya ditandai dengan arak-arakan atau kirab gunungan. Anda ingin mengetahui lebih banyak fakta tentang tradisi Grebeg Besar di Yogyakarta? Berikut adalah beberapa informasinya:
Makna dan Asal Usul Grebeg Besar
Grebeg Besar adalah tradisi yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta untuk memperingati Hari Raya Idul Adha. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam kalender Islam, yang juga merupakan bulan Besar dalam penanggalan Jawa. Nama "Grebeg Besar" merujuk pada bulan pelaksanaan tradisi ini dalam kalender Jawa. Selain di Yogyakarta, tradisi serupa juga ada di Surakarta dan Demak.
Tiga Tradisi Grebeg dalam Setahun
Ternyata, Yogyakarta juga mengadakan dua tradisi grebeg lainnya selain Grebeg Besar, yaitu Grebeg Maulud dan Grebeg Syawwal. Dengan demikian, total ada tiga upacara grebeg yang diadakan setiap tahun di Yogyakarta. Grebeg Maulud dilaksanakan pada bulan Mulud dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan bulan Rabiul Awal dalam kalender Hijriah. Sedangkan Grebeg Syawwal diadakan pada bulan Syawwal dalam kalender Islam atau bulan Sawal dalam penanggalan Jawa. Tujuan dari Grebeg Maulud adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal, sedangkan Grebeg Syawwal dilakukan sebagai penghormatan terhadap bulan suci Ramadan, malam kemuliaan (Lailatul Qadar), dan menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Makna dan Sejarah Grebeg
Kata "grebeg" berasal dari kata "gumrebeg" yang memiliki makna riuh, ramai, dan berisik. Istilah ini mengacu pada keramaian dan kegaduhan yang terjadi saat pelaksanaan upacara Grebeg. Tradisi ini memiliki hubungan dengan sejarah penyebaran Islam di Tanah Jawa. Awalnya, Grebeg merupakan salah satu media dakwah Islam yang digunakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Gagasan Grebeg diajukan oleh para wali dan disetujui oleh Raja Demak. Pemilihan cara dakwah ini bertujuan agar penyebaran agama Islam dapat beradaptasi dengan budaya masyarakat yang masih menganut agama Hindu dan Buddha. Tradisi Grebeg terus dilestarikan oleh penerus Kerajaan Demak, termasuk Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Meskipun pelaksanaannya telah mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian, tradisi Grebeg tetap dijalankan hingga saat ini.
Gunungan dalam Tradisi Grebeg
unungan merupakan elemen penting dalam tradisi Grebeg. Simbol kemakmuran diwakili oleh gunungan, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat. Gunungan melambangkan keberadaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Isi dari gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan jajanan tradisional. Ada berbagai jenis gunungan yang memiliki ciri khas masing-masing. Ciri-ciri ini mencakup perbedaan bahan makanan dan bentuk. Beberapa jenis gunungan yang sering ditemui antara lain Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (wanita), Gunungan Darat, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Picisan.
Peserta Upacara Grebeg
Tradisi Grebeg melibatkan seluruh penghuni keraton, aparat kerajaan, dan masyarakat umum. Bahkan pada masa pemerintahan Belanda, para pejabat kolonial Belanda juga ikut serta dalam tradisi ini.
Demikianlah beberapa fakta menarik mengenai tradisi Grebeg Besar di Yogyakarta. Tradisi ini merupakan warisan budaya yang berharga dan terus dilestarikan hingga saat ini. Dengan pelaksanaan tiga upacara grebeg dalam setahun, Yogyakarta memperlihatkan kekayaan budaya dan tradisi yang unik. Bagi para pengunjung, menghadiri dan menyaksikan tradisi Grebeg adalah pengalaman yang tak terlupakan dan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang budaya Indonesia.
Iklan
Mau Pasang Iklan? Email: hi@dijogja.co